Pertikaian
antara Suku Dayak dengan Suku Madura telah ada sejak lama. Konflik ini terjadi antara Suku Dayak
Asli dan warga imigran Madura dari Pulau Madura. Banyak
versi mengenai latar belakang terjadinya kerusuhan ini. Hampir semua
warga dan tokoh Dayak menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai
penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya
menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa
“di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Hampir
semua kerusuhan di Kalimantan antara pendatang Madura dengan penduduk asli Dayak
bermula dari peristiwa sepele, lalu berubah menjadi konflik antara kelompok.
Konflik pertama terjadi pada 1968 di Toho, Kabupaten Pontianak. Kerusuhan
terjadi setelah seorang pegawai kecamatan, warga Dayak, tewas gara-gara duel
dengan warga Madura. Konflik kedua pada 1976 di Bodok, Kabupaten Sanggau.
Benturan berikutnya pada 1979 di Samalantan, Kabupaten Sambas. Lantas pada 1983
kembali terjadi gesekan di Sungai Enau, Kabupaten Pontianak. Sepuluh tahun
kemudian kembali terjadi konflik kedua etnis di Kota Madya Pontianak. Kerusuhan
terbesar dan terluas terjadi akhir tahun 1996 yang dimulai di Sanggau Ledo,
Kabupaten Sambas. Kerusuhan yang kemudian disebut Kasus Sanggau Ledo tersebut
juga bermula dari kejadian sepele yaitu “senggolan dangdut” di awal Tahun Baru
1997.
Menjelang
lebaran tahun 1999 terulang kembali di Sambas. Konflik ini terjadi dua hari
menjelang bulan Ramadhan berakhir. Catatan resmi menyebutkan korban tewas
akibat konflik ini hingga akhir Maret tahun 2000 berjumlah 87 orang lebih,
bahkan kemungkinan di atas 100 orang. Kerusuhan di Sambas juga diawali oleh
insiden “sepele” berupa perkelahian antarindividu pemuda yang berasal dari
etnis berbeda. Akibatnya, 17 rumah ludes dibakar.
Untuk
mengakhiri pertikaian, maka dibuatlah sebuah kesepakatan damai. Tetapi,
kesepakatan tersebut tidak berlangsung lama. Pada 21 februari 2000, kerusuhan
berulang kembali “hanya” karena seorang preman, yang tak mau membayar ongkos
naik kendaraan, menusuk kernet yang menagihnya. Konflik ini lebih besar
dibandingkan sebelumnya. Warga Melayu, Bugis, Dayak dan Cina, yang menggempur
orang Madura.
Akhirnya
pada tanggal 18 februari 2001 konflik Sampit pecah dengan lebih dari 500 orang
tewas dan lebih dari 100.000 warga Madura
kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang ditemukan tewas dengan
kondisi kepala dipenggal. Banyak versi yang menjelaskan tentang penyebab
kerusuhan tahun 2001. Salah satunya menyebutkan bahwa kerusuhan ini disebabkan
oleh pembakaran sebuah rumah milik warga Suku Dayak. Rumor
mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian
sekelompok Suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura (Affandi,
2004).
B. Faktor Penyebab Konflik
Faktor
penyebab timbulnya konflik di Sampit pada dasarnya sama dengan konflik-konflik
sebelumnya yang terjadi di seluruh wilayah Kalimantan. Berikut ini merupakan
sebuah analisis sosio-ekonomi terhadap kekerasan di Kalimantan (Amir Marzali
dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini,2003 :15-25). Faktor – faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik antara suku Dayak dan suku pendatang Madura
meliputi:
1.
Frustasi – Agresi
Konflik yang terjadi adalah alat untuk mengekspresikan
rasa frustasi orang Dayak atas Pemerintah yang telah mengambil alih sebagian
besar wilayah hutan tempat mereka hidup.
2.
Kebijakan pemerintah tentang
komersialisasi hutan di Kalimantan
Pada masa pemerintahan Soeharto, melalui Menteri
Kehutanan Pemerintah Pusat telah menjadikan sebagian besar wilayah hutan tropis
sebagai wilayah konsesi (pemilik HPH) bagi perusahaan kayu hutan. Kebijakan ini
dilakukan tanpa memperhatikan hak-hak tanah tradisional orang Dayak yang telah
lama tinggal.
Tabel
Jumlah
Perusahaan Kayu Berdasarkan Lokasi Operasional (Juni 1996)
No
|
Lokasi
|
Jumlah
|
Persen
|
1
|
Daerah
Istimewa Aceh
|
16
|
3,4
|
2
|
Sumatera
Utara
|
14
|
3,0
|
3
|
Sumatera
Barat
|
8
|
1,7
|
4
|
Riau
|
51
|
10,9
|
5
|
Jambi
|
22
|
4,7
|
6
|
Sumatera
Selatan
|
16
|
3,4
|
7
|
Bengkulu
|
4
|
0,9
|
8
|
Kalimantan
Barat
|
46
|
9,8
|
9
|
Kalimantan Tengah
|
91
|
19,5
|
10
|
Kalimantan
Selatan
|
11
|
2,4
|
11
|
Kalimantan
Timur
|
77
|
16,5
|
12
|
Sulawesi
Selatan
|
8
|
1,7
|
13
|
Sulawesi
Tengah
|
55
|
3,2
|
14
|
Sulawesi
Utara
|
8
|
1,7
|
15
|
Sulawesi
Tenggara
|
3
|
0,6
|
16
|
Nusa
Tenggara Barat
|
2
|
0,4
|
17
|
Maluku
|
31
|
6,6
|
18
|
Irian Jaya
|
44
|
9,4
|
Total
|
467
|
100,0
|
Sumber: Konflik Komunal Indonesia
Saat Ini, 2003, Tabel 1
3.
POLRI yang tidak berdaya dan tidak
dihormati
POLRI mengalami ketidakpastian (ambiguitas) dalam hal
tanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri setelah secara kelembagaan berada
di bawah TNI. Terkadang TNI dapat mengintervensi urusan-urusan dalam negeri.
Akibatnya, penampilan dan prestasi POLRI kelihatan tidak jelas dan
disfungsional dan masyarakat tidak dapat dilindungi dari perbuatan-perbuatan
kriminal. Selain itu, jumalah gaji polisi yang kecil menyebabkan munculnya
korupsi di dalam POLRI. Hal ini diperburuk lagi oleh minimnya anggaran dari
pemerintah untuk kelancaran tugas POLRI. Disamping itu, Polisi dibesarkan
dengan mental dan budaya tentara menghasilkan polisi penindas gaya tentara.
Dalam kasus yang terjadi di Sampit dan sebagian besar
wilayah di Kalimantan, dalam menyelesaikan kasus kriminal polisi cenderung
mengambil jalan pintas yang tidak membutuhkan banyak biaya. Yaitu dengan
menyerahkan penyelesaian kasus kriminal menggunakan hukum adat yang berlaku.
Dari hampir semua kejadian kriminal baik yang menimpa pihak suku Dayak Maupun Madura
cenderung merugikan pihak suku Dayak.
Tabel 1
Perjalanan
Konflik Etnis Madura dan Etnis Dayak
No
|
Tahun
|
Lokasi
|
Kronologi Peristiwa
|
1
|
1972
|
Palangkaraya
|
Seorang
gadis Dayak digodai dan diperkosa. Diselesaikan dengan perdamaian menutut
hukum adat.
|
2
|
1982
|
-
|
Pembunuhan
terhadap seorang Dayak oleh Orang Madura. Pelakunya tidak ditangkap,
pengusutan hukum tidak ada.
|
3
|
1983
|
Kec. Bukit Batu, Kasongan
|
Seorang
Etnis Dayak dibunuh, perkelahian 30 Orang Madura melawan satu Orang Dayak.
Dilakukan perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, isinya: Jika
Orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalimantan
Tengah.
|
4
|
1996
|
Palangkaraya
|
Seorang
gadis Dayak diperkosa di gedung Bioskop Panala oleh Seorang Madura, lalu
dibunuh secara kejam. Penyelesainannya dihukum ringan.
|
5
|
1997
|
Desa Karang Langit, Barito Selatan
|
Orang Dayak
dikeroyok oleh Orang Madura, dengan perbandingan 2:40, dan Orang Madura
meninggal semua. Orang Dayak ditindak dengan hukuman berat, padahal dalam
konteks membela diri
|
6
|
1997
|
Desa Tumbang Samba, Kec. Katingan
|
Seorang
anak laki-laki dibunuh oleh seorang Suku Madura penjual sate. Padamulanya
pertikaian antara Tukang Sate dengan pemuda Dayak, namun ketika dikejar tidak
didapat. Maka, Seoarang anak yang kebetulan lewat pada akhirnya menjadi
korban.
|
7
|
1998
|
Palangkaraya
|
Orang Dayak
dikeroyok oleh empat Orang Madura, pelaku tidak dapat ditangkap dan korban
meninggal. Tidak ada penyelesaian secara hukum.
|
8
|
1999
|
Palangkaraya
|
Seorang
petugas Ketertiban Umum (Tibum) dibacok oleh Seorang Madura. Pelakunya
ditahan, namun esoknya dibebaskan tanpa tuntutan hukum.
|
9
|
1999
|
Palangkaraya
|
Seorang Dayak
dikeroyok beberapa Orang Madura, terkait masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak
meninggal. Pembunuh lolos karena pergi ke Pulau Jawa. Saksi yang berasal dari
Suku Jawa di hukum 1,5 tahun.
|
10
|
1999
|
Desa Pangkut, Kec. Arut Utara,
Kab. Kota Waringin Barat
|
Perkelahian
massal antara Suku Dayak dan Madura karena Orang Madura memaksa mengambil
emas pada saat Suku Dayak menambang emas. Tidak ada penyelesaian hukum.
|
11
|
1999
|
Desa Tumbang Samba
|
Terjadi
penikaman terhadap suami isteri Orang Dayak oleh tiga Orang Madura. Biaya
perawatan ditanggung Pemda. Pelaku tidak ditangkap, karena sudah pergi ke
Pulau Jawa.
|
12
|
2000
|
Desa Pungkut, Kota Waringin Barat.
|
Satu
keluarga Suku Dyak meninggal dibunuh oleh Orang Madura, pelaku pembunuhan lari.
Tidak ada penyelesaian hukum.
|
13
|
2000
|
Palangkaraya
|
Satu
Orang Dayak meninggal dikeroyok oleh Suku Madura di depan Gereja Imanuel.
Pelaku lari dan tidak ada proses hukum.
|
14
|
2000
|
Desa Kereng Pangi, Kasongan.
|
Terjadi
pembunuhan terhadap seorang Suku Dayak, dikeroyok oleh Orang Madura. Pelaku
kabur, pergi ke Pulau Jawa. Tidak ada penyelasaian hukum.
|
15
|
2001
|
Sampit
|
Konflik Sampit
|
4.
Pemerintah yang sangat sentralistik
Kalimantan dianggap sebagai wilayah yang menentang
pemerintah pusat. Pemerintah selalu beranggapan bahwa wilayah yang didiami oleh
masyarakat terbelakang atau tertinggal.kebijakan otoriter yang di bangun oelh Soeharto menyebabkan warga tidak dapat berbicara
banyak terhadap keputusan yang telah ditetapkan. Gubernur Kalimantan sanpai
saat ini jarang diduduki oleh putra daerah. orang dari pusat tidak hanya
menduduki jabatan Gubernur saja tetapi telah merambah pada jabatan
administratif yang lebih rendah. Kebijakan seperti ini jelas tidak adil dan
telah menyebabkan masyarakat setempat menjadi kecewa. Semua hasil ekspor-impor
sumber daya alam yang berasal dari wilayah masuk kantong pemerintah. Semua
terjadi seolah-olah hal biasa saja silakukan. Sebaliknya ketika pemerintah
membagikan dana pembangunan kepada daerah hal itu dikatakan sebagai pemberian
yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dominasi kelompok etnis dan agama msih
jelas dalam kegiatan pemilihan Gubernur. Politik uang punya banyak cara untuk
menyebarkan penyakit mental terhadap masyarakat dan elite lokal.
5.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia
dalam keadaan darurat
Pasca orde
baru situasi politi Indonesia tidak menentu kekuasaan pemerintah pusat
digerogoti. Pemerintah musali dari tingkat tertinggi sampai dengan tingkat
paling rendah kurang mampu melaksanakan hukum serta menjamin hak-hak hukum.
Polisi tidak mampu melindungi orang-orang Dayak dari tindakan kriminal orang Madura
begitu pula sebaliknya dari tahun 1996 hingga tahun 2001. Jika polisi
melindungi orang Madura maka bagi orang Dayak berarti polisi berpihak pada
orang Madura. Itulah sebabnya mengapa polisi membiarkan Dayak membunuh Madura
dan membakar rumah-rumah seolah-olah situasi ini dibenarkan secara hukum.
Ketidak berdayaan hukum juga terlihat pada kasus penyerangan base camp
perusahaan kayu, pertambangan, dan penanaman hutan. Resesi ekonomi hampir
terjadi di semua daerah. hal ini meyebabkan pemutusan hubungan kerja yang telah
menyebabkan jumlah pengagguran meningkat serta banyak orang miskin tidak dapat
mencari nafkah dengan normal. Dalam situasi krisi seperti ini penduduk asli Kalimantan
menyalahkan para pendatang Madura dan perusahaan kayu sebagai penyebab utama
kerugian mereka.
6.
Euforia otonomi daerah dan demokrasi
Setelah
rezim Soeharto Indonesia meloncat dari otoriter menjadi demokratis. Hampir
seluruh lembaga sosial telah diguncang oleh masa transisi ini. Istilah lama
yang terpendam selama rezim Soeharto seperti putra daerah muncul ke permukaan.
Orang-orang yang mengklaim sebagai komunitas ini memprotes dan menentang
kemapanan. Termasuk ke dalam kemampanan para pendatang yang mendominasi daerah
baik secara politik maupun ekonomi. Gerakan penduduk asli Kalimantan (suku Melayu
dan suku Dayak) menunjukan sikap oposisi mereka terhadap para pendatang yang
menindas dan mendominasi (penduduk setempat) melalui kerusuhan sosial di Kalimantan
dalam atmosfir euforia demokrasi.
7.
Etnisitas
Fenomena
konflik etnis di Kalimantan merupakan hal yang unik dan menarik di mana sasaran
kemarahan terbatas pada pendatang Madura. Dalam peristiwa kerusuhan yang
dimulai oleh suku Melayu (1996) dan Dayak (1997 dan 2001) melawan pendatang Madura,
anggota dari etnis lain kelihatan parsial. Mereka lebih berpihak pada penduduk
asli meskipu yang menjadi korban dari kerusuhan terseut orang-orang tidak
berdosa termsuk perempuan dan anak-anak. Sebagian besar masyarakat Kalimantan
menganggap orang Madura tidak mampu menyesuaikan diri dengan orang lain. Mereka
berbeda jika dibandingkan dengan suku jawa lainnya. Mereka hidup berdampingan
dengan sesama mereka dan menikahi laki-laki atau perempuan mereka sendiri.
Sebagian dari mereka suka melakukan tindakan kejahatan. Apabila seseorang
melakukan tindakan kejahatan seperti mencuri atau membunuh orang lain maka
orang Madura lainnya melindungi pelakunya. Apabila polisi menangkap seorang
pelaku kejahatan, maka orang Madura lainnya berusaha membujuk polisi dengan
menyogok untuk melepaskannya. Orang orang Madura selalu melakukan pencurian di
luar suku mereka. orang Madura tidak segan menggunakan senjata tajam dalam
berkelahi. Mereka mempunyai solidaritas yang tidak membedakan antara pelaku
kejahatan dan kiai.
8.
Pertumbuhan penduduk
Pertumbuhan
penduduk Dayak semakin tinggi. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya lahan
kosong (hutan) yang mereka miliki sementara disisi lain kondisi hutan di
Kalimantan telah berubah secara substansial sejak pemerintah orde baru.
Kegiatan perusahaan kayu, perkebunan besar dan kecil, dan perusahaan
pertambangan di Kalimantan telah sangat mengurangi wilayah hutan yang tersedia
bagi suku Dayak untuk melanjutkan kebiasaan cara hidup bertani yang
berpindah-pindah. Sedangkan pemerintah pusat tidak memberikan alternatif
pemecahan masalah ini. Pemerintah telah membiarkan orang Dayak frustasi
(Suaidi, 2003:16-25).
C. Bentuk Konflik
Konflik
etnis pada dasarnya adalah suatu konflik yang mengarah pada pemusnahan
masing-masing etnis melalu perusakan terhadap lambang etnis. Masing-msing pihak
berupaya untuk menghancurkan dan mengeliminasi eksistensi pihak lainnya. Bahkan
bayi dan anak yang lahir akibat perkawinan silang antar etnis di bunuh selama
konflik Sampit. Ini dapat dipandang sebagai tindakan pemusnahan lambang-lambang
etnis lawan. Dalam konflik etnis, etnisitas bergeser dari fenomena individual
menjadi kategori etnis. Lambang-lambang etnisitas menjadi sasaran yang
dihancurkan karena dipandang sebagai representasi dari kehadiran musuh.
Lambang-lambang tersebut meliputi anggota kelompok etnis yang menjadi lawan,
harta benda dan sifat-sifat mereka. ini menjelaskan mengapa konflik etnis
menjadi ajang penghancuran total melebihi kehancuran yang diakibatkan oleh
peperangan. Konflik etnis di Indonesia pada dasarnya merupakan konflik antara
kelompok etnis lokal dan para migran.
Dampak
dari konflik tersebut meliputi hilangnya nyawa, perusakan terhadap komunitas
masyarakat migran beserta lingkungannya, dan orang-orang yang tetap bertahan
dipaksa untuk meninggalkan kediamannya. Setelah perang dingin tersebut konflik
etnis menjadi isu yang lebih eksplosif di dunia termasuk Indonesia. Ini
merupakan suatu konflik berdarah, perang total dengan jumlah korban jiwa yang
tak terhitung, dislokasi masa, penindasan, alienasi dan penderitaan yang
disebabkan oleh kelaparan dan siksaaan(2003:86-87).
D. Analisis Teori Konflik
Sampit-Madura
1.
Teori Perilaku Kolektif (Collective Behavior)
Brown
dalam Smelser seorang psikolog menyatakan bahwa istilah perilaku kolektif
dinisbatkan untuk tindakan yang mencakup perilaku massa dan dinamika kolektif.
Istilah dinamika kolektif kemudian didukung oleh Lang-lang yang menggambarkan
tentang hubungan khusus dalam perubahan sosial tentang perilaku kolektif.
Istilah yang lebih akurat yang mencakup peristiwa yang terjadi dalam
kelompok-kelompok adalah ledakan kolektif dan gerakan kolektif. Ledakan
kolektif menurut Smelser mencakup kepanikan, kagilaan, ungkapan permusuhan,
semua ini ada pemicunya dan melakukan gerakan bersama dalam perombakan nilai
dan norma. Dalam arti luas perilaku kolektif mengacu pada perilaku dari dua
atau lebih individu yang bertindak secara bersama-sama secara kolektif, dan
untuk memahami perilaku dengan cara ini harus mengerti semua kehidupan
kelompok.
Menurut
Smelser, peneliti menganalisis perilaku kolektif dengan tiga alasan. Pertama
karena perilaku kolektif terjadi secara spontan dan berubah-ubah. Perilaku ini
bisa berawal dari perilaku seseorang yang menjadi sentral kemudian berkembang
menjadi kerumunan, kelompok masa menjadi terpengaruh dan akhirnya mencari
sebuah pembenar perilaku bersama. Kedua, banyak perilaku kolektif membangkitkan
reaksi emosional yang kuat. Ketiga, kejadian perilaku koletif rata-rata tidak
dapat diamati dengan eksperimen.
a. Sifat
Dari Perilaku Kolektif
Roger
Brown telah menggolongkan beberapa dimensi dalam pengelompokan yaitu: (a)
ukuran adalah penting untuk mengetahui apakah kelompok termasuk kelompok kecil,
menengah atau besar, (b) frekuensi peserta, (c) frekuensi polarisasi perhatian
klompok, (d) tingkat kedalaman identifikasi psikologis antar anggota. Dengan
mempergunakan beberapa kriteria diatas, Brown membedakan perilaku kolektif
sebagai sebuah fenomena massa dan perilaku kolektif sebagai bentuk tindakan.
Herbert Blumer membatasi kajian pada perilaku kolektif yang meliputi (a)
perilaku kelompok kecil (ukuran fisik), dan (b) sebuah budaya perilaku (ukuran
perilaku peraturan, norma-norma). Kelompok pertama adalah kelompok kecil selain
ukuran fisik, juga ukuran psikologi yang dipergunakan dimana individu memiliki
rasa kontrol pribadi ataupun perintah dari pimpinan kelompok. Kelompok kedua
merujuk pada modus komunikasi dan interaksi. Dalam kelompok kecil proses ini
ada pada konfrontasi pribadi dan pola dialog, dengan interperetasi yang
dikendalikan oleh masing-masing peserta aksi yang lain. Dalam kelompok besar
bentuk-bentuk barukomunikasi dan interaksi timbul, seperti reaksi melingkar
tidak terkendali kerumunan psikologis, atau komunikasi satu arah dari media
massa. Kriteria ketiga mengacu pada cara dimana partisipasi yang dimobilisasi
untuk bertindak.
b.
Faktor
Penyebab Perilaku Kolektif
Kondisi
kepanikan secara kasar menurut Smelser (1971: 12) dapat digolongkan menjadi
tiga kategori: fisiologis, pskologis, dan sosiologis. Faktor psiokologis
diantaranya kelelahan, kekurangan gizi, kurang tidur, kondisi racun tubuh, dan
sejenisnya. Faktor psikologis yang mengejutkan, ketidakpastian, kecemasan,
perasaan terisolasi, kesadaran atau ketidakberdayaan sebelum harapan terelakkan
dari bahaya. Faktor sosiologis melipui kurangnya solidaritas kelompok, kondisi
kerumunana, kurangnya kepemimpinan resimen dalam kelompok. Sebuah pernyataaan
efektif dari mekanisme sebab-akibat kepanikan tidak bisa dibuat hanya dengan
mendaftar faktor penyebab dikarenakan faktor-faktor ini sangatlah beragam
sifatnya.
Smelser
memetakan enam faktor yang menjadi penyebab perilaku kolektif yaitu (1) structural conduciveness; (2) structural strain; (3) Growth and spread of a generalized belief;
(4) Precipitating factors; (5) Mobilization of participants for action;
(6) The operation of social control.
Structural
conduciveness menurut Smelser adalah sebuah
pemaksaan atas sebuah pola atau struktur baru dari pola atau struktur yang lama
sebagai alat untuk melaksanakan tujuan tertentu penguasa. Hal ini berkaitan
erat dengan aspek ekonomi, sosial, politik yang emnjadi sebuahtujuan tertentu
penguasa walaupun dengan mengorbankan beberapa nilai-nilai tradisional.
Benturan dalam bentuk pemaksaan sebuah pola/struktur baru ini akan menyebabkan
sebuah pemberontakan pada masing-masing anggota kelompok yang memungkinkan
menjadi sumber konflik apabila menemukan momentumnya.
Structural
strain menurut Smelser adalah sebuah keadaan
dimana beberapa struktur sosial yang telah ada baik keberadaannya didasarkan
atas agama, pendidikan, kekayaan, maupun keturunan tidak lagi diakomodasi pada
berbagai kepentingan. Tindakan pengabaian dari hak dan kewajiban yang telah
berlaku dalam struktur sosial yang ada dan merubahnya dengan sebuah pola baru
biasanya dilakukan berdasarkan sebuah kajian terhadap realita yang ada.
Meskipun hal ini dilakukan dengan pertimbangan yang rasional, tetapi keadaan
struktur sosial yang telah menjadi kultur setempat akan menjadi penyebab
terjadinya kekecewaan di tingkatan elit-elit sosial yang ada terutama yang
kepentingannya tidak terakomodir. Kekecewaan yang terjadi dalam struktur inilah
yang akan memungkinkan menjadi konflik nanti di kemudian hari.
Growth and
spread of generalized belief adalah sebuah kondisi
dimana ada satu nilai sentral atau tujuan utama dalam masyarakat yang terbentuk
ketika nilai-nilai tradisional hancur beserta tujuan-tujuannya. Satu nilai
sentral yang kemudian dianut secara bersama-sama menjadi sebuah kesadaran dalam
masyarakat sangat berpengaruh terhadap terjadinya sebuah gerakan pemberontakan
bersama. Satu cita-cita yang ama apalagi didasari dengan sebuah landasan
keagamaan melalui ikatan-ikatan spiritual akan mengikat masyarakat dengan kuat
dalam sebuah perjuangan. Ikatan dalam bentuk tujuan bersama ini dapat menjadi
penggerak akan adanya gerakan pemberontaka terhadap realita ketidakadilan yang
dilakukan oleh penguasa.
Precipitating
factor adalah suatu kondisi dimana tatanan
sosial telh abruk yang dibarengi dengan memudarnya nilai-nilai sosial. Dalam
kondisi ini banyak orang mencari sebuah pengharapan pada nilai-nilai spiritual
yang banyak memberikan inspirasi tentang nilai-nilai yang ada. Pergerakan
masyarakat yang semula terikat oleh nilai-nilai tradisi da memudar mencoba
mencari penyelesaian melalui nilai-nilai agama. Disini agama dnilai sebagai
sebuah solusi terakhir permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang terjadi dan
telah menghancurkan nilai-nilai tradisional. Kondisi ini juga tidak terlepas
dari gerakan paa elit politik, ekonomi, agama yang beberapa kepentingannya tersingkirkan
untuk melakukan konsolidasi, sehingga memunculkan gelombang protes yang mereka
gerakkan dari ikatan-ikatan kegamaan yang semakin menguat.
Mobilization of
participants for action adalah sebuah pola
pengumpulan massa melalui konsolidasi ikatan-ikatan yang ada dalam masyarakat.
Ikatan-ikatan tersebut dapat berupa ikatan yang bersifat formal maupun informal
dan dapat berupa ikatan keagamaan, ikatan budaya maupun ikatan sosial.
Ikatan-ikatan yang ada dalam masyarakat ini dapat dipergunakan untuk melakukan
agitasi, konsolidasi yang endignya dapat digerakkan untu melakukan
pemberontakan. Adanya ikatan ini sangat penting untuk menunjang keberhasilan
sebuah gerakan pemberontakan sehingga dalam kemunculan sebuah kekerasan, ada
faktor mobilization for action yang
dilakukan oleh para elit agama atupun elit sosial.
The operation of
social control adalah memudarnya kontrol terhadap
masyarakat yang dilakukan oleh pihak penguasa untuk mengantisipasi terjadinya
sebuah gerakan perlawanan oleh masyarakat. Kondisi ini dipicu oleh tindakan
represif pemerintah yang melarang diadakannya pertemuan-pertemuan informal yang
dapat meningkatkan semangat perjuangan. Tujuan analisis ini antara lain untuk
membedakan dua tipe kontrol sosial (1) untuk mencegah terjadinya pemberontakan
bersama; (2) untuk mengendalikan massa ketika telah terjadi pemberontakan
bersama. Secara tidak langsung tindakan
represif yang dilakukan penguasa akan menjadikan tindakan masyarakat menjadi
semakin massif seiring dengan adanya stigma musuh bersama yang dibangun melalui
pertemuan-pertemuan infornal. Adanya konsolidasi informal ini yang tidak
disadari oleh pihak penguasa memberikan daya dorong yang sangat kuat terhadap
terjadinya sebuah pemberontakan.
E. Solusi
Dalam kesepakatan tokoh-tokoh masyarakat Kalimantan
Tengah pada 17 Maret 2001, dikatakan bahwa masyarakat Kalimantan Tengah pada
dasarnya menginginkan agar warga etnik Madura yang kini berada di pengungsian
direlokasikan ketempat lain di luar wilayah Kalimantan Tengah yang diatur
sepenuhnya oleh pemerintah (pusat). Dengan kata lain, mereka tak lagi bisa
menerima warga etnik Madura untuk kembali kekampung halamannya di Kalimantan
Tengah.
Meski solusi yang ditawarkan di atas tampak berhasil
meredakan konflik di Sampit Kalimantan Tengah, akan tetapi solusi tersebut terkesan
sangat keras dan berat karena diputuskan secara sepihak oleh orang Dayak.
Selain itu, meski konflik nampak reda dan tidak nampak di permukaan, konflik tetap
ada dalam bentuk laten yang ditandai dengan adanya perasaan benci satu sama
lain.
Dalam hal ini, solusi paling efektif adalah dengan
meninjau dari akar penyebab timbulnya konflik untuk memberikan solusi yang
terbaik. Solusi tersebut yaitu dengan mengembalikan hak orang Dayak atas wilayah
hutan atau yang oleh orang Dayak disebut dengan tanah tradisional; menegakkan supremasi hukum secara tegas dan transparan
sesuai dengan Undang-Undang; menghapus kesan
negatif atau steoretip antara etnis Dayak dan Madura yang ada; serta melakukan sosialisasi
terus menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan mengajarkan pentingnya
hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan
di dalam masyarakat.
Kesimpulan
Konflik
etnis pada dasarnya adalah suatu konflik yang mengarah pada pemusnahan
masing-masing etnis melalu perusakan terhadap lambang etnis. Masing-msing pihak
berupaya untuk menghancurkan dan mengeliminasi eksistensi pihak lainnya. Konflik yang
terjadi antara Suku Dayak Asli dan warga imigran Madura. Banyak
versi mengenai latar belakang terjadinya kerusuhan ini. Hampir semua
warga dan tokoh Dayak menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai
penyebabnya.
Pemicu dan
penyebab mendasar konflik etnis di Kalimantan yaitu perbedaan budaya, persaingan
yang tidak seimbang, premanisme dan kriminalitas (tindak kejahatan) yang
dilakukan penduduk pendatang, kebijakan pemerintah yang sentralistik, struktur
dan persaingan sosial-ekonomi yang tidak wajar dan tidak seimbang, ketidakmampuan
dan ketidakberdayaan aparat penegak hukum
Solusi yang ditawarkan yaitu dengan meninjau dari
akar penyebab timbulnya konflik untuk memberikan solusi yang terbaik. Solusi
tersebut yaitu dengan mengembalikan hak orang Dayak atas wilayah hutan atau
yang oleh orang Dayak disebut dengan tanah tradisional; menegakkan supremasi hukum secara tegas dan
transparan sesuai dengan Undang-Undang, menghapus
kesan negatif atau steoretip antara etnis Dayak dan Madura yang ada, serta
melakukan sosialisasi terus menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Indonesia
sebagai bangsa yang majemuk dan
mengajarkan pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan
konflik tanpa kekerasan di dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Hakim Ikhwal. 2004. Akar
Konflik Sepanjang Zaman elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suaidi Asy’ari. 2003. Konflik
Komunal di Indonesia Saat ini. Jakarta: INIS.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi
Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Anonim.
Diungguh 24 November 2012 19:00 WIB. http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=85:konflik-dayak-madura-di-kalimantan-tengah-melacak-akar-masalah-dan-tawaran-solusi-&catid=34:mkp&Itemid=62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar