Pages

Pages

Jumat, 08 Maret 2013


Pertikaian antara Suku Dayak dengan Suku Madura telah ada sejak lama.  Konflik ini terjadi antara Suku Dayak Asli dan warga imigran Madura dari Pulau Madura. Banyak versi mengenai latar belakang terjadinya kerusuhan ini. Hampir semua warga dan tokoh Dayak menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Hampir semua kerusuhan di Kalimantan antara pendatang Madura dengan penduduk asli Dayak bermula dari peristiwa sepele, lalu berubah menjadi konflik antara kelompok. Konflik pertama terjadi pada 1968 di Toho, Kabupaten Pontianak. Kerusuhan terjadi setelah seorang pegawai kecamatan, warga Dayak, tewas gara-gara duel dengan warga Madura. Konflik kedua pada 1976 di Bodok, Kabupaten Sanggau. Benturan berikutnya pada 1979 di Samalantan, Kabupaten Sambas. Lantas pada 1983 kembali terjadi gesekan di Sungai Enau, Kabupaten Pontianak. Sepuluh tahun kemudian kembali terjadi konflik kedua etnis di Kota Madya Pontianak. Kerusuhan terbesar dan terluas terjadi akhir tahun 1996 yang dimulai di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas. Kerusuhan yang kemudian disebut Kasus Sanggau Ledo tersebut juga bermula dari kejadian sepele yaitu “senggolan dangdut” di awal Tahun Baru 1997.
Menjelang lebaran tahun 1999 terulang kembali di Sambas. Konflik ini terjadi dua hari menjelang bulan Ramadhan berakhir. Catatan resmi menyebutkan korban tewas akibat konflik ini hingga akhir Maret tahun 2000 berjumlah 87 orang lebih, bahkan kemungkinan di atas 100 orang. Kerusuhan di Sambas juga diawali oleh insiden “sepele” berupa perkelahian antarindividu pemuda yang berasal dari etnis berbeda. Akibatnya, 17 rumah ludes dibakar.
Untuk mengakhiri pertikaian, maka dibuatlah sebuah kesepakatan damai. Tetapi, kesepakatan tersebut tidak berlangsung lama. Pada 21 februari 2000, kerusuhan berulang kembali “hanya” karena seorang preman, yang tak mau membayar ongkos naik kendaraan, menusuk kernet yang menagihnya. Konflik ini lebih besar dibandingkan sebelumnya. Warga Melayu, Bugis, Dayak dan Cina, yang menggempur orang Madura.
Akhirnya pada tanggal 18 februari 2001 konflik Sampit pecah dengan lebih dari 500 orang tewas  dan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang ditemukan tewas dengan kondisi kepala dipenggal. Banyak versi yang menjelaskan tentang penyebab kerusuhan tahun 2001. Salah satunya menyebutkan bahwa kerusuhan ini disebabkan oleh pembakaran sebuah rumah milik warga Suku Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok Suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura (Affandi, 2004).
B.     Faktor Penyebab Konflik
Faktor penyebab timbulnya konflik di Sampit pada dasarnya sama dengan konflik-konflik sebelumnya yang terjadi di seluruh wilayah Kalimantan. Berikut ini merupakan sebuah analisis sosio-ekonomi terhadap kekerasan di Kalimantan (Amir Marzali dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini,2003 :15-25). Faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara suku Dayak dan suku pendatang Madura meliputi:
1.      Frustasi – Agresi
Konflik yang terjadi adalah alat untuk mengekspresikan rasa frustasi orang Dayak atas Pemerintah yang telah mengambil alih sebagian besar wilayah hutan tempat mereka hidup.
2.      Kebijakan pemerintah tentang komersialisasi hutan di Kalimantan
Pada masa pemerintahan Soeharto, melalui Menteri Kehutanan Pemerintah Pusat telah menjadikan sebagian besar wilayah hutan tropis sebagai wilayah konsesi (pemilik HPH) bagi perusahaan kayu hutan. Kebijakan ini dilakukan tanpa memperhatikan hak-hak tanah tradisional orang Dayak yang telah lama tinggal.
Tabel
Jumlah Perusahaan Kayu Berdasarkan Lokasi Operasional (Juni 1996)
No
Lokasi
Jumlah
Persen
1
Daerah Istimewa Aceh
16
3,4
2
Sumatera Utara
14
3,0
3
Sumatera Barat
8
1,7
4
Riau
51
10,9
5
Jambi
22
4,7
6
Sumatera Selatan
16
3,4
7
Bengkulu
4
0,9
8
Kalimantan Barat
46
9,8
9
Kalimantan Tengah
91
19,5
10
Kalimantan Selatan
11
2,4
11
Kalimantan Timur
77
16,5
12
Sulawesi Selatan
8
1,7
13
Sulawesi Tengah
55
3,2
14
Sulawesi Utara
8
1,7
15
Sulawesi Tenggara
3
0,6
16
Nusa Tenggara Barat
2
0,4
17
Maluku
31
6,6
18
Irian Jaya
44
9,4

Total
467
100,0
Sumber: Konflik Komunal Indonesia Saat Ini, 2003, Tabel 1
3.      POLRI yang tidak berdaya dan tidak dihormati
POLRI mengalami ketidakpastian (ambiguitas) dalam hal tanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri setelah secara kelembagaan berada di bawah TNI. Terkadang TNI dapat mengintervensi urusan-urusan dalam negeri. Akibatnya, penampilan dan prestasi POLRI kelihatan tidak jelas dan disfungsional dan masyarakat tidak dapat dilindungi dari perbuatan-perbuatan kriminal. Selain itu, jumalah gaji polisi yang kecil menyebabkan munculnya korupsi di dalam POLRI. Hal ini diperburuk lagi oleh minimnya anggaran dari pemerintah untuk kelancaran tugas POLRI. Disamping itu, Polisi dibesarkan dengan mental dan budaya tentara menghasilkan polisi penindas gaya tentara.
Dalam kasus yang terjadi di Sampit dan sebagian besar wilayah di Kalimantan, dalam menyelesaikan kasus kriminal polisi cenderung mengambil jalan pintas yang tidak membutuhkan banyak biaya. Yaitu dengan menyerahkan penyelesaian kasus kriminal menggunakan hukum adat yang berlaku. Dari hampir semua kejadian kriminal baik yang menimpa pihak suku Dayak Maupun Madura cenderung merugikan pihak suku Dayak.
Tabel 1
Perjalanan Konflik Etnis Madura dan Etnis Dayak
No
Tahun
Lokasi
Kronologi Peristiwa
1
1972
Palangkaraya
Seorang gadis Dayak digodai dan diperkosa. Diselesaikan dengan perdamaian menutut hukum adat.
2
1982
-
Pembunuhan terhadap seorang Dayak oleh Orang Madura. Pelakunya tidak ditangkap, pengusutan hukum tidak ada.
3
1983
Kec. Bukit Batu, Kasongan
Seorang Etnis Dayak dibunuh, perkelahian 30 Orang Madura melawan satu Orang Dayak. Dilakukan perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, isinya: Jika Orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalimantan Tengah.
4
1996
Palangkaraya
Seorang gadis Dayak diperkosa di gedung Bioskop Panala oleh Seorang Madura, lalu dibunuh secara kejam. Penyelesainannya dihukum ringan.
5
1997
Desa Karang Langit, Barito Selatan
Orang Dayak dikeroyok oleh Orang Madura, dengan perbandingan 2:40, dan Orang Madura meninggal semua. Orang Dayak ditindak dengan hukuman berat, padahal dalam konteks membela diri
6
1997
Desa Tumbang Samba, Kec. Katingan
Seorang anak laki-laki dibunuh oleh seorang Suku Madura penjual sate. Padamulanya pertikaian antara Tukang Sate dengan pemuda Dayak, namun ketika dikejar tidak didapat. Maka, Seoarang anak yang kebetulan lewat pada akhirnya menjadi korban.
7
1998
Palangkaraya
Orang Dayak dikeroyok oleh empat Orang Madura, pelaku tidak dapat ditangkap dan korban meninggal. Tidak ada penyelesaian secara hukum.
8
1999
Palangkaraya
Seorang petugas Ketertiban Umum (Tibum) dibacok oleh Seorang Madura. Pelakunya ditahan, namun esoknya dibebaskan tanpa tuntutan hukum.
9
1999
Palangkaraya
Seorang Dayak dikeroyok beberapa Orang Madura, terkait masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak meninggal. Pembunuh lolos karena pergi ke Pulau Jawa. Saksi yang berasal dari Suku Jawa di hukum 1,5 tahun.
10
1999
Desa Pangkut, Kec. Arut Utara, Kab. Kota Waringin Barat
Perkelahian massal antara Suku Dayak dan Madura karena Orang Madura memaksa mengambil emas pada saat Suku Dayak menambang emas. Tidak ada penyelesaian hukum.
11
1999
Desa Tumbang Samba
Terjadi penikaman terhadap suami isteri Orang Dayak oleh tiga Orang Madura. Biaya perawatan ditanggung Pemda. Pelaku tidak ditangkap, karena sudah pergi ke Pulau Jawa.
12
2000
Desa Pungkut, Kota Waringin Barat.
Satu keluarga Suku Dyak meninggal dibunuh oleh Orang Madura, pelaku pembunuhan lari. Tidak ada penyelesaian hukum.
13
2000
Palangkaraya
Satu Orang Dayak meninggal dikeroyok oleh Suku Madura di depan Gereja Imanuel. Pelaku lari dan tidak ada proses hukum.
14
2000
Desa Kereng Pangi, Kasongan.
Terjadi pembunuhan terhadap seorang Suku Dayak, dikeroyok oleh Orang Madura. Pelaku kabur, pergi ke Pulau Jawa. Tidak ada penyelasaian hukum.
15
2001
Sampit
Konflik Sampit



4.      Pemerintah yang sangat sentralistik
Kalimantan dianggap sebagai wilayah yang menentang pemerintah pusat. Pemerintah selalu beranggapan bahwa wilayah yang didiami oleh masyarakat terbelakang atau tertinggal.kebijakan otoriter yang di bangun oelh Soeharto  menyebabkan warga tidak dapat berbicara banyak terhadap keputusan yang telah ditetapkan. Gubernur Kalimantan sanpai saat ini jarang diduduki oleh putra daerah. orang dari pusat tidak hanya menduduki jabatan Gubernur saja tetapi telah merambah pada jabatan administratif yang lebih rendah. Kebijakan seperti ini jelas tidak adil dan telah menyebabkan masyarakat setempat menjadi kecewa. Semua hasil ekspor-impor sumber daya alam yang berasal dari wilayah masuk kantong pemerintah. Semua terjadi seolah-olah hal biasa saja silakukan. Sebaliknya ketika pemerintah membagikan dana pembangunan kepada daerah hal itu dikatakan sebagai pemberian yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dominasi kelompok etnis dan agama msih jelas dalam kegiatan pemilihan Gubernur. Politik uang punya banyak cara untuk menyebarkan penyakit mental terhadap masyarakat dan elite lokal.
5.      Pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam keadaan darurat
Pasca orde baru situasi politi Indonesia tidak menentu kekuasaan pemerintah pusat digerogoti. Pemerintah musali dari tingkat tertinggi sampai dengan tingkat paling rendah kurang mampu melaksanakan hukum serta menjamin hak-hak hukum. Polisi tidak mampu melindungi orang-orang Dayak dari tindakan kriminal orang Madura begitu pula sebaliknya dari tahun 1996 hingga tahun 2001. Jika polisi melindungi orang Madura maka bagi orang Dayak berarti polisi berpihak pada orang Madura. Itulah sebabnya mengapa polisi membiarkan Dayak membunuh Madura dan membakar rumah-rumah seolah-olah situasi ini dibenarkan secara hukum. Ketidak berdayaan hukum juga terlihat pada kasus penyerangan base camp perusahaan kayu, pertambangan, dan penanaman hutan. Resesi ekonomi hampir terjadi di semua daerah. hal ini meyebabkan pemutusan hubungan kerja yang telah menyebabkan jumlah pengagguran meningkat serta banyak orang miskin tidak dapat mencari nafkah dengan normal. Dalam situasi krisi seperti ini penduduk asli Kalimantan menyalahkan para pendatang Madura dan perusahaan kayu sebagai penyebab utama kerugian mereka.

6.      Euforia otonomi daerah dan demokrasi
Setelah rezim Soeharto Indonesia meloncat dari otoriter menjadi demokratis. Hampir seluruh lembaga sosial telah diguncang oleh masa transisi ini. Istilah lama yang terpendam selama rezim Soeharto seperti putra daerah muncul ke permukaan. Orang-orang yang mengklaim sebagai komunitas ini memprotes dan menentang kemapanan. Termasuk ke dalam kemampanan para pendatang yang mendominasi daerah baik secara politik maupun ekonomi. Gerakan penduduk asli Kalimantan (suku Melayu dan suku Dayak) menunjukan sikap oposisi mereka terhadap para pendatang yang menindas dan mendominasi (penduduk setempat) melalui kerusuhan sosial di Kalimantan dalam atmosfir euforia demokrasi.

7.      Etnisitas
Fenomena konflik etnis di Kalimantan merupakan hal yang unik dan menarik di mana sasaran kemarahan terbatas pada pendatang Madura. Dalam peristiwa kerusuhan yang dimulai oleh suku Melayu (1996) dan Dayak (1997 dan 2001) melawan pendatang Madura, anggota dari etnis lain kelihatan parsial. Mereka lebih berpihak pada penduduk asli meskipu yang menjadi korban dari kerusuhan terseut orang-orang tidak berdosa termsuk perempuan dan anak-anak. Sebagian besar masyarakat Kalimantan menganggap orang Madura tidak mampu menyesuaikan diri dengan orang lain. Mereka berbeda jika dibandingkan dengan suku jawa lainnya. Mereka hidup berdampingan dengan sesama mereka dan menikahi laki-laki atau perempuan mereka sendiri. Sebagian dari mereka suka melakukan tindakan kejahatan. Apabila seseorang melakukan tindakan kejahatan seperti mencuri atau membunuh orang lain maka orang Madura lainnya melindungi pelakunya. Apabila polisi menangkap seorang pelaku kejahatan, maka orang Madura lainnya berusaha membujuk polisi dengan menyogok untuk melepaskannya. Orang orang Madura selalu melakukan pencurian di luar suku mereka. orang Madura tidak segan menggunakan senjata tajam dalam berkelahi. Mereka mempunyai solidaritas yang tidak membedakan antara pelaku kejahatan dan kiai.

8.      Pertumbuhan penduduk
Pertumbuhan penduduk Dayak semakin tinggi. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya lahan kosong (hutan) yang mereka miliki sementara disisi lain kondisi hutan di Kalimantan telah berubah secara substansial sejak pemerintah orde baru. Kegiatan perusahaan kayu, perkebunan besar dan kecil, dan perusahaan pertambangan di Kalimantan telah sangat mengurangi wilayah hutan yang tersedia bagi suku Dayak untuk melanjutkan kebiasaan cara hidup bertani yang berpindah-pindah. Sedangkan pemerintah pusat tidak memberikan alternatif pemecahan masalah ini. Pemerintah telah membiarkan orang Dayak frustasi (Suaidi, 2003:16-25).
C.   Bentuk Konflik
Konflik etnis pada dasarnya adalah suatu konflik yang mengarah pada pemusnahan masing-masing etnis melalu perusakan terhadap lambang etnis. Masing-msing pihak berupaya untuk menghancurkan dan mengeliminasi eksistensi pihak lainnya. Bahkan bayi dan anak yang lahir akibat perkawinan silang antar etnis di bunuh selama konflik Sampit. Ini dapat dipandang sebagai tindakan pemusnahan lambang-lambang etnis lawan. Dalam konflik etnis, etnisitas bergeser dari fenomena individual menjadi kategori etnis. Lambang-lambang etnisitas menjadi sasaran yang dihancurkan karena dipandang sebagai representasi dari kehadiran musuh. Lambang-lambang tersebut meliputi anggota kelompok etnis yang menjadi lawan, harta benda dan sifat-sifat mereka. ini menjelaskan mengapa konflik etnis menjadi ajang penghancuran total melebihi kehancuran yang diakibatkan oleh peperangan. Konflik etnis di Indonesia pada dasarnya merupakan konflik antara kelompok etnis lokal dan para migran.
Dampak dari konflik tersebut meliputi hilangnya nyawa, perusakan terhadap komunitas masyarakat migran beserta lingkungannya, dan orang-orang yang tetap bertahan dipaksa untuk meninggalkan kediamannya. Setelah perang dingin tersebut konflik etnis menjadi isu yang lebih eksplosif di dunia termasuk Indonesia. Ini merupakan suatu konflik berdarah, perang total dengan jumlah korban jiwa yang tak terhitung, dislokasi masa, penindasan, alienasi dan penderitaan yang disebabkan oleh kelaparan dan siksaaan(2003:86-87).
D.    Analisis Teori Konflik Sampit-Madura
1.      Teori Perilaku Kolektif (Collective Behavior)
Brown dalam Smelser seorang psikolog menyatakan bahwa istilah perilaku kolektif dinisbatkan untuk tindakan yang mencakup perilaku massa dan dinamika kolektif. Istilah dinamika kolektif kemudian didukung oleh Lang-lang yang menggambarkan tentang hubungan khusus dalam perubahan sosial tentang perilaku kolektif. Istilah yang lebih akurat yang mencakup peristiwa yang terjadi dalam kelompok-kelompok adalah ledakan kolektif dan gerakan kolektif. Ledakan kolektif menurut Smelser mencakup kepanikan, kagilaan, ungkapan permusuhan, semua ini ada pemicunya dan melakukan gerakan bersama dalam perombakan nilai dan norma. Dalam arti luas perilaku kolektif mengacu pada perilaku dari dua atau lebih individu yang bertindak secara bersama-sama secara kolektif, dan untuk memahami perilaku dengan cara ini harus mengerti semua kehidupan kelompok.
Menurut Smelser, peneliti menganalisis perilaku kolektif dengan tiga alasan. Pertama karena perilaku kolektif terjadi secara spontan dan berubah-ubah. Perilaku ini bisa berawal dari perilaku seseorang yang menjadi sentral kemudian berkembang menjadi kerumunan, kelompok masa menjadi terpengaruh dan akhirnya mencari sebuah pembenar perilaku bersama. Kedua, banyak perilaku kolektif membangkitkan reaksi emosional yang kuat. Ketiga, kejadian perilaku koletif rata-rata tidak dapat diamati dengan eksperimen.
a.      Sifat Dari Perilaku Kolektif
Roger Brown telah menggolongkan beberapa dimensi dalam pengelompokan yaitu: (a) ukuran adalah penting untuk mengetahui apakah kelompok termasuk kelompok kecil, menengah atau besar, (b) frekuensi peserta, (c) frekuensi polarisasi perhatian klompok, (d) tingkat kedalaman identifikasi psikologis antar anggota. Dengan mempergunakan beberapa kriteria diatas, Brown membedakan perilaku kolektif sebagai sebuah fenomena massa dan perilaku kolektif sebagai bentuk tindakan. Herbert Blumer membatasi kajian pada perilaku kolektif yang meliputi (a) perilaku kelompok kecil (ukuran fisik), dan (b) sebuah budaya perilaku (ukuran perilaku peraturan, norma-norma). Kelompok pertama adalah kelompok kecil selain ukuran fisik, juga ukuran psikologi yang dipergunakan dimana individu memiliki rasa kontrol pribadi ataupun perintah dari pimpinan kelompok. Kelompok kedua merujuk pada modus komunikasi dan interaksi. Dalam kelompok kecil proses ini ada pada konfrontasi pribadi dan pola dialog, dengan interperetasi yang dikendalikan oleh masing-masing peserta aksi yang lain. Dalam kelompok besar bentuk-bentuk barukomunikasi dan interaksi timbul, seperti reaksi melingkar tidak terkendali kerumunan psikologis, atau komunikasi satu arah dari media massa. Kriteria ketiga mengacu pada cara dimana partisipasi yang dimobilisasi untuk bertindak.
b.      Faktor Penyebab Perilaku Kolektif
Kondisi kepanikan secara kasar menurut Smelser (1971: 12) dapat digolongkan menjadi tiga kategori: fisiologis, pskologis, dan sosiologis. Faktor psiokologis diantaranya kelelahan, kekurangan gizi, kurang tidur, kondisi racun tubuh, dan sejenisnya. Faktor psikologis yang mengejutkan, ketidakpastian, kecemasan, perasaan terisolasi, kesadaran atau ketidakberdayaan sebelum harapan terelakkan dari bahaya. Faktor sosiologis melipui kurangnya solidaritas kelompok, kondisi kerumunana, kurangnya kepemimpinan resimen dalam kelompok. Sebuah pernyataaan efektif dari mekanisme sebab-akibat kepanikan tidak bisa dibuat hanya dengan mendaftar faktor penyebab dikarenakan faktor-faktor ini sangatlah beragam sifatnya.
Smelser memetakan enam faktor yang menjadi penyebab perilaku kolektif yaitu (1) structural conduciveness; (2) structural strain; (3) Growth and spread of a generalized belief; (4) Precipitating factors; (5) Mobilization of participants for action; (6) The operation of social control.
Structural conduciveness menurut Smelser adalah sebuah pemaksaan atas sebuah pola atau struktur baru dari pola atau struktur yang lama sebagai alat untuk melaksanakan tujuan tertentu penguasa. Hal ini berkaitan erat dengan aspek ekonomi, sosial, politik yang emnjadi sebuahtujuan tertentu penguasa walaupun dengan mengorbankan beberapa nilai-nilai tradisional. Benturan dalam bentuk pemaksaan sebuah pola/struktur baru ini akan menyebabkan sebuah pemberontakan pada masing-masing anggota kelompok yang memungkinkan menjadi sumber konflik apabila menemukan momentumnya.
Structural strain menurut Smelser adalah sebuah keadaan dimana beberapa struktur sosial yang telah ada baik keberadaannya didasarkan atas agama, pendidikan, kekayaan, maupun keturunan tidak lagi diakomodasi pada berbagai kepentingan. Tindakan pengabaian dari hak dan kewajiban yang telah berlaku dalam struktur sosial yang ada dan merubahnya dengan sebuah pola baru biasanya dilakukan berdasarkan sebuah kajian terhadap realita yang ada. Meskipun hal ini dilakukan dengan pertimbangan yang rasional, tetapi keadaan struktur sosial yang telah menjadi kultur setempat akan menjadi penyebab terjadinya kekecewaan di tingkatan elit-elit sosial yang ada terutama yang kepentingannya tidak terakomodir. Kekecewaan yang terjadi dalam struktur inilah yang akan memungkinkan menjadi konflik nanti di kemudian hari.
Growth and spread of generalized belief adalah sebuah kondisi dimana ada satu nilai sentral atau tujuan utama dalam masyarakat yang terbentuk ketika nilai-nilai tradisional hancur beserta tujuan-tujuannya. Satu nilai sentral yang kemudian dianut secara bersama-sama menjadi sebuah kesadaran dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap terjadinya sebuah gerakan pemberontakan bersama. Satu cita-cita yang ama apalagi didasari dengan sebuah landasan keagamaan melalui ikatan-ikatan spiritual akan mengikat masyarakat dengan kuat dalam sebuah perjuangan. Ikatan dalam bentuk tujuan bersama ini dapat menjadi penggerak akan adanya gerakan pemberontaka terhadap realita ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa.
Precipitating factor adalah suatu kondisi dimana tatanan sosial telh abruk yang dibarengi dengan memudarnya nilai-nilai sosial. Dalam kondisi ini banyak orang mencari sebuah pengharapan pada nilai-nilai spiritual yang banyak memberikan inspirasi tentang nilai-nilai yang ada. Pergerakan masyarakat yang semula terikat oleh nilai-nilai tradisi da memudar mencoba mencari penyelesaian melalui nilai-nilai agama. Disini agama dnilai sebagai sebuah solusi terakhir permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang terjadi dan telah menghancurkan nilai-nilai tradisional. Kondisi ini juga tidak terlepas dari gerakan paa elit politik, ekonomi, agama yang beberapa kepentingannya tersingkirkan untuk melakukan konsolidasi, sehingga memunculkan gelombang protes yang mereka gerakkan dari ikatan-ikatan kegamaan yang semakin menguat.
Mobilization of participants for action adalah sebuah pola pengumpulan massa melalui konsolidasi ikatan-ikatan yang ada dalam masyarakat. Ikatan-ikatan tersebut dapat berupa ikatan yang bersifat formal maupun informal dan dapat berupa ikatan keagamaan, ikatan budaya maupun ikatan sosial. Ikatan-ikatan yang ada dalam masyarakat ini dapat dipergunakan untuk melakukan agitasi, konsolidasi yang endignya dapat digerakkan untu melakukan pemberontakan. Adanya ikatan ini sangat penting untuk menunjang keberhasilan sebuah gerakan pemberontakan sehingga dalam kemunculan sebuah kekerasan, ada faktor mobilization for action yang dilakukan oleh para elit agama atupun elit sosial.
The operation of social control adalah memudarnya kontrol terhadap masyarakat yang dilakukan oleh pihak penguasa untuk mengantisipasi terjadinya sebuah gerakan perlawanan oleh masyarakat. Kondisi ini dipicu oleh tindakan represif pemerintah yang melarang diadakannya pertemuan-pertemuan informal yang dapat meningkatkan semangat perjuangan. Tujuan analisis ini antara lain untuk membedakan dua tipe kontrol sosial (1) untuk mencegah terjadinya pemberontakan bersama; (2) untuk mengendalikan massa ketika telah terjadi pemberontakan bersama.  Secara tidak langsung tindakan represif yang dilakukan penguasa akan menjadikan tindakan masyarakat menjadi semakin massif seiring dengan adanya stigma musuh bersama yang dibangun melalui pertemuan-pertemuan infornal. Adanya konsolidasi informal ini yang tidak disadari oleh pihak penguasa memberikan daya dorong yang sangat kuat terhadap terjadinya sebuah pemberontakan.
E.     Solusi
Dalam kesepakatan tokoh-tokoh masyarakat Kalimantan Tengah pada 17 Maret 2001, dikatakan bahwa masyarakat Kalimantan Tengah pada dasarnya menginginkan agar warga etnik Madura yang kini berada di pengungsian direlokasikan ketempat lain di luar wilayah Kalimantan Tengah yang diatur sepenuhnya oleh pemerintah (pusat). Dengan kata lain, mereka tak lagi bisa menerima warga etnik Madura untuk kembali kekampung halamannya di Kalimantan Tengah.
Meski solusi yang ditawarkan di atas tampak berhasil meredakan konflik di Sampit Kalimantan Tengah, akan tetapi solusi tersebut terkesan sangat keras dan berat karena diputuskan secara sepihak oleh orang Dayak. Selain itu, meski konflik nampak reda dan tidak nampak di permukaan, konflik tetap ada dalam bentuk laten yang ditandai dengan adanya perasaan benci satu sama lain.
Dalam hal ini, solusi paling efektif adalah dengan meninjau dari akar penyebab timbulnya konflik untuk memberikan solusi yang terbaik. Solusi tersebut yaitu dengan mengembalikan hak orang Dayak atas wilayah hutan atau yang oleh orang Dayak disebut dengan tanah tradisional;  menegakkan supremasi hukum secara tegas dan transparan sesuai dengan Undang-Undang;  menghapus kesan negatif atau steoretip antara etnis Dayak dan Madura yang ada; serta melakukan sosialisasi terus menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Indonesia  sebagai bangsa yang majemuk dan mengajarkan pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan di dalam masyarakat.

   Kesimpulan
Konflik etnis pada dasarnya adalah suatu konflik yang mengarah pada pemusnahan masing-masing etnis melalu perusakan terhadap lambang etnis. Masing-msing pihak berupaya untuk menghancurkan dan mengeliminasi eksistensi pihak lainnya. Konflik yang terjadi antara Suku Dayak Asli dan warga imigran Madura. Banyak versi mengenai latar belakang terjadinya kerusuhan ini. Hampir semua warga dan tokoh Dayak menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya.
Pemicu dan penyebab mendasar konflik etnis di Kalimantan yaitu perbedaan budaya, persaingan yang tidak seimbang, premanisme dan kriminalitas (tindak kejahatan) yang dilakukan penduduk pendatang, kebijakan pemerintah yang sentralistik, struktur dan persaingan sosial-ekonomi yang tidak wajar dan tidak seimbang, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan aparat penegak hukum
Solusi yang ditawarkan yaitu dengan meninjau dari akar penyebab timbulnya konflik untuk memberikan solusi yang terbaik. Solusi tersebut yaitu dengan mengembalikan hak orang Dayak atas wilayah hutan atau yang oleh orang Dayak disebut dengan tanah tradisional;  menegakkan supremasi hukum secara tegas dan transparan sesuai dengan Undang-Undang,  menghapus kesan negatif atau steoretip antara etnis Dayak dan Madura yang ada, serta melakukan sosialisasi terus menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Indonesia  sebagai bangsa yang majemuk dan mengajarkan pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan di dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Hakim Ikhwal. 2004. Akar Konflik Sepanjang Zaman elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suaidi Asy’ari. 2003. Konflik Komunal di Indonesia Saat ini. Jakarta: INIS.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar